Zikir Kepada Allah
Berdzikir kepada Allah SWT adalah ibadah yang mudah
dilakukan dengan pahalanya yang besar. Ibadah ini juga dapat dilakukan secara
individual dan berjamaah dengan mengeraskan suara untuk meningkatkan semangat
berdzikir kepada Allah SWT.
Polemik berdzikir dengan suara lantang dan berjamaah sudah
lama diperbincangkan, sehingga perlu adanya pembahasan untuk menguatkan kembali
praktik keagamaan yang ditradisikan oleh masyarakat pada umumnya.
Argumen kuat pengamalan dzikir dengan suara lantang dan berjamaah
adalah sebuah riwayat yang disampaikan imam al-Bukhari dalam kitab Shahih
al-Bukhari sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ
بْنُ نَصْرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ: أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ
قَالَ: أَخْبَرَنِي عَمْرٌو: أَنَّ أَبَا مَعْبَدٍ، مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ:
أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ: أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ
بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ، كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا
بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ.
Sesungguhnya Ibnu Abbas RA memberitahu
pelayannya yang bernama Abu Ma’bad, ia berkata: Bahwa mengerasakan suara dalam
berdzikir ketika orang-orang selesai shalat maktubah itu sudah ada pada masa
Nabi SAW. Ibnu Abbas berkata: Saya mengetahui bahwa mereka telah selesai
melaksan akan shalat ketika saya mendengarnya. (Imam al-Bukhari dalam
Shahih al-Bukhari, 1, 168, No. 841).
Hadis ini menjelaskan bahwa berdzikir dengan suara lantang
merupakan praktik yang sudah dilakukan di periode kenabian, bukan sesuatu yang
baru dan dianggap bid’ah, sebagaimana tuduhan beberapa kelompok Islam lain
terhadap amalan NU ini.
Jika kita kritisi, berdzikir dengan suara lantang setelah salat adalah gambaran
di mana para sahabat melakukan dzikir secara berjamaah.
Oleh karena itu, imam al-Nawawi menegaskan bahwa dzikir
dengan suara lantang tidak dapat dianggap terlarang, kecuali bagi orang-orang
yang khawatir dengan karakter riya ketika berdzikir, akan tetapi secara umum,
dzikir dengan suara lantang dianjurkan karena dapat menggubah hari orang lain
untuk bersama-sama mengingat Allah SWT. Hal ini senada dengan keterangan
berikut:
وَقَدْ جَمَعَ
النَّوَوِيُّ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ الوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ
وَالوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الْإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ
خَافَ الرِّيَاءَ أَوْ تَأَذَّى المُصَلُّونَ أَوْ النَّائِمُونَ وَالْجَهْرُ أَفْضَلُ
فِى غَيْرِ ذَلِكَ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيهِ أَكْثَرُ وَلِأَنَ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى
إِلَى السَّامِعِينَ وَلِأَنَّهُ يُوقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى
الفِكْرِ وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيَطْرِدُ النَّوْمَ وَيَزِيدَ فِى النَّشَاطِ
(أبو الفداء إسماعيل حقي، روح البيان، بيروت-دار الفكر، ج، ٣، ص. ٣٠٦)
Imam al-Nawawi mengkompilasi antara hadits-hadits yang
menganjurkan berdzikir dengan suara lantang dan hadits-hadits yang menganjurkan
berdzikir dengan suara lirih; bahwa berdzikir dengan suara lirih lebih utama
sekiranya dapat menutupi riya dan mengganggu orang salat atau orang tidur,
sedangkan berdzikir dengan suara lantang lebih utama pada selain dua kondisi
tersebut karena dapat lebih banyak mengandung amal baik, dapat memberikan
pengaruh kepada pendengarnya, dapat mengingatkan hati orang yang berdzikir,
dapat memfokuskan perenungan terhadap dzikir tersebut, mengarahkan
pendenganrannya kepada dzikir, menghilankan kantuk, dan menambah semangat. (Abu
al-Fida’ Isma’il Haqqi al-Istanbuli, Ruh al-Bayan, 3, 306).
Komentar
Posting Komentar