Ulama Media Sosial
Ma’asyiral Muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah
Di era digital ini banyak orang yang diulamakan oleh
penikmat media sosial. Dia bukan ahli di bidang agama tapi diidolakan dan
diagung-agungkan bahkan menjadi rujukan utama dalam segala tindakan dan
perbuatan, tidak terkecuali dalam beramaliyah sehari-hari. Legitimasi dan pengakuan terhadapnya
seringkali melebihi pengakuan terhadap ulama besar dan gurunya sendiri yang
sudah lama memberi bimbingan, pembelajaran bahkan keteladanan, sehingga ketika
terjadi perbedaan pandangan, maka dialah yang menjadi pilihannya. Karenanya, dirasa sangat penting dipahami
bersama bahwa ulama Ahlussunah wal Jama’ah sudah menentukan barometer siapa
saja yang dapat diambil ilmunya dan dijadikan rujukan dalam beramal.
Dalam kitab Risalah Ahlussunah wal Jama’ah karya
Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari dijelaskan bahwa tidak diperbolehkan mengambil
ilmu dari orang yang tidak diketahui dari mana dia belajar. Beliau mengutip
pandangan imam Malik:
لا تَحْمِلِ الْعِلْمَ مِنْ اَهْلِ الْبِدَعِ وَلا
تَحْمِلْهُ عَمَّنْ لَا يُعْرَفُ بِالطَّلَبِ
Artinya: “Janganlah kamu membawa ilmu dari orang yang ahli
bidah, dan jangan pula membawa ilmu dari orang yang tidak dikenal kepada siapa
dia mempelajarinya”.
Maka, kenali dulu di pesantren atau institusi pendidikan
mana dia belajar, seperti apa profil lembaga pendidikannya dan siapa gurunya.
Perlu diidentifikasi dari tiga sisi, yaitu seperti apa corak pemikirannya,
bagaimana amaliyahnya dan bagaimana pula bentuk gerakannya. Jangan
hanya karena kenal melalui media sosial lantas kita proklamirkan sebagai orang
yang ahli agama. Jangan karena petuahnya masuk akal lalu kita jadikan pedoman
dalam memutuskan problematika hukum.
Kita sadari kembali bahwa ilmu bisa diperoleh dengan proses
pembelajaran, bukan bawaan dari lahir, bukan pula hadiah dari garis keturunan.
Sehingga apa yang disampaikan melalui kajian yang mendalam dari beberapa
referensi yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan asal mengutip yang tidak
dipahami makna yang sebenarnya.
Ma’asyiral Muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah
Ciri berikutnya orang yang dapat dijadikan rujukan adalah
mereka yang betul-betul ahli dalam ilmu agama. Mampu memahami Al-Qur’an dan
hadits dengan baik, begitu juga perangkat-perangkat keilmuan lainnya yang
menunjang pemahaman terhadap Al-Quran dan Sunnah. Hadratussyekh KH. Hasyim
Asy’ari dalam kitab Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah pernah berpesan:
فَلا تَرْوُوْهُ
اِلَّا عَمَّنْ تَحَقَّقَتْ أَهْلِيَّتُهُ
Artinya: “Maka, jangan kamu meriwayatkan suatu ilmu kecuali
dari orang yang benar-benar ahli dalam bidang tersebut”
Tidak boleh sembarang orang dijadikan rujukan untuk
kasus-kasus krusial yang membutuhkan pemahaman yang mendalam. Tidak boleh
setiap orang diberi panggung untuk memutuskan perkara yang sangat penting,
terutama bagi umat Islam. Imam Nawawi dalam kitab Raudhatut Thalibin juga
menegaskan:
وَإِنْ
كَانَ مِنْ
دَقَائِقِ الْأَقْوَالِ
وَالْأَفْعَالِ وَمِمَّا
يَتَعَلَّقُ بِالِاجْتِهَادِ
لَمْ يَكُنْ
لِلْعَوَامِ الْاِبْتِدَاءُ
بِإِنْكَارِهِ بَلْ
ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ
Artinya: “Kalau merupakan perkataan dan tindakan
yang detail dan hal-hal yang berhubungan dengan ijtihad, maka orang awam tidak
boleh memulai dalam melakukan pengingkaran, melainkan aktivitas tersebut harus
dilakukan oleh para ulama.”
Tentu saja berkaitan dengan penjelasan yang khatib
sebutkan, seseorang yang disebut sebagai ulama adalah yang dinilai telah
mumpuni dalam keilmuannya oleh para ulama lainnya, bukan mereka yang dianggap
ulama oleh netizen di media sosial secara sembarangan, bukan pula mereka yang
mengatasnamakan dirinya sebagai ulama secara serampangan.
Jamaah
sekalian, dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat ke 36, Allah swt berfirman:
وَلا تَقْفُ
مَا لَيْسَ
لَكَ بِهِ
عِلْمٌ إِنَّ
السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ
أُولَئِكَ كَانَ
عَنْهُ مَسْئُولا
Artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan sesuatu yang
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Karena pendengaran, penglihatan dan
hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya kelak.”
Ma’asyiral Muslimin jamaah Jumat yang dirahmati
Allah
Ciri lain orang yang dapat dijadikan rujukan ilmunya
adalah mereka yang dapat dipercaya ucapan dan tindakannya.
Bukan orang yang berani membohongi umat untuk
kepentingan pribadi dan golongan. Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab
Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah menegaskan:
وَلا عَمَّنْ
يَكْذِبُ فِيْ
حَدِيْثِ النَّاسِ
وَإنْ كَانَ
لا يَكْذِبُ
فِيْ حَدِيْثِ
رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Dan
jangan mengambil ilmu dari seseorang yang melakukan kebohongan di muka umum,
walaupun dia tidak berbohong jika sedang berbicara tentang hadits Nabi Muhammad
saw”.
Maka, Jangan hanya menilai seseorang dari ilmunya
saja, tetapi juga dari amal perbuatannya. Ilmu yang disertai dengan keikhlasan
dan kejujuran memiliki kekuatan besar untuk menyentuh hati seseorang yang
mendengarnya, dan tentu saja membawa keberkahan bagi umat. Hal ini jauh lebih
berharga daripada segudang ilmu tanpa kejujuran dan pengamalan.
Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith dalam
Al-Manhajus Sawi mengatakan:
كَلَامُ
أهْلِ الإخْلاصِ
وَالصِّدْقِ
نُوْرٌ وَبَرَكَةٌ
وَاِنْ كَانَ
غَيْرَ فَصِيْحٍ
Artinya: “Perkataan orang-orang yang ikhlas dan
jujur adalah cahaya dan keberkahan, meskipun tidak diungkapkan dengan fasih.”
Karena itu, mari berhati-hati memilih rujukan dan
pedoman dalam merespons persoalan agama. Tidak semua orang yang memiliki
kemampun menyampaikan materi dinyatakan sesuai dengan ketentuan Islam. Justru
kadang dialah yang menyesatkan dan memprovokasi umat.
Komentar
Posting Komentar